Ah bosen nih
bokap gue pindah-pindah tugas kerja melulu. Jadi gue harus beberapa kali pindah
sekolah dan cari temen baru. Surabaya, Makassar, Medan, Lombok, Pontianak,
hampir seluruh Indonesia gue pernah tinggalin. Sekarang gue tinggal di Malang.
“Ben, kita pindah lagi ya?” Kata
bokap gue.
“Kemana lagi Pah? Tanya gue males.
“Ke Bogor!”
“Kenapa sih harus pindah lagi Pah?
Di sini aku kan udah banyak temen.”
“Ayah ditugasin ke sana,”
“Mah gimana ini, Beni harus mulai
dari awal lagi mah!” Rengek gue ke nyokap.
“Sudahlah nak, Papah kan kerja di
sana juga. Uangnya kan untuk nyekolahin kamu juga.” Jelas nyokap gue.
“Iya sih Mah.”
“Iya katanya sih Papah bakal lama di
sana. Bahkan mungkin kita memang akan menetap di sana.” Jelas bokap gue.
“Hmm, yasudah deh Pah, Beni mau.
Tapi janji ya Pah, nggak pindah lagi. Beni kan udah kelas 2 SMA sebentar lagi
mau ujian.”
“Iya Papah janji.”
Seminggu kemudian dengan terpaksa
gue pindah ke Bogor. Gue pindah ke SMA
Swata di Kota Bogor. Gue memulai hari baru di Bogor. Memulai mencari teman baru
di SMA gue. Gue punya temen sebangku namanya Heru. Gue kemana-mana sering
berdua. Suatu hari gue dan Heru sedang nongkrong di depan kelas saat jam
istirahat.
“Ben, bisa main Gitar nggak?” Kata
Heru.
“Bisa, kenapa ru?”
“Gue kan ikut ekskul band, tapi
kurang gitarisnya. Gitarisnya pindah sekolah ke Palembang.” Jelas Heru.
“Oh, emang siapa aja ru? Tanya gue.
“Vokalisnya Nina, anak IPA 2 dan
Bassisnya Dinda anak IPS 2.”
“Oh, si Dinda kelas sebelah dong.”
“Iya begitulah.” Kata Heru, “Eh
Dindaaa!” Panggil Heru ke cewe yang baru mau masuk kelas.
“Iya Ru, kenapa?”
“Ini temen gue Beni. Dia bisa main
gitar. Gimana kalo gabung sama band kita aja buat pengganti Edo?”
“Gue sih oke-oke aja.” Jawab Dinda
santai, “Hy Ben!” Lanjutnya sambil berkenalan ke gue.
“Eh hai, salam kenal!”
“Iya, salam kenal. Eh gimana kalo
pulang sekolah nanti kita coba latihan di studio sekolah?” Kata Dinda
melanjutkan. “Kuncinya ada di gue kok!” lanjutnya.
“Oke!” Jawab gue.
“Eh tapi Nina bisa nggak Din?” Tanya
Heru.
“Santai dia mah, tadi sih dia juga
ngajakin waktu makan di kantin.”
“Okelah.” Jawab Heru.
Jam istirirahat sudah selesai,
saatnya kita masuk ke kelas masing-masing untuk melanjutkan pelajaran.
“Ben, kayanya Dinda suka deh sama
lo.” Kata Heru tiba-tiba.
“Alah, masa sih Ru?”
“Iya keliaatan dari tatapannya. Tapi
dia cantik kan?”
“Iya sih Ru, yaudahlah kita kan mau
ngeband bukan pacaran.”
“Ah sekalian kali Ben.”
“Entahlah..”
Bel pulang sekolah akhirnya
berbunyi. Dinda sudah nunggu di depan kelas kita.
“Ayo Ben, Nina udah nunggu di depan
studio katanya!” Ajak Dinda.
“Kok Beni doang? Gue kaga!” Kata
Heru agak curiga, sambil ngedipin matanya ke arah Dinda.
“Iye lo jugalah Ru.” Jawab Dinda
Agak salting.
Nggak berapa lama kita sampe di
studio, di sana sudah ada gadis cantik, manis tingginya semampai. Tiba-tiba gue
berharap dia bakal jadi pacar gue. Tetapi gue hanya berdiri kaku menatapnya
dari agak jauh. Temen-temen gue udah mendekati gadis itu.
“Woy Ben, cepet ke sini!” Teriak
Heru memecahkan lamunan gue.
“Eh iya-iya.” Jawab gue sambil
mendekati mereka.
Ketika mulai dekat dengan gadis itu,
tiba-tiba hati gue dagdigdug kenceng banget. Gue mulai melamun kembali.
“Hai, aku Nina.” Kata gadis itu
menjulurkan tangannya.
“Beni!” Jawab gue sambil bersalaman.
“Hey, salamannya bentar aja kali!”
Kata Dinda agak jealous.
“Yaudah ayo kita mulai aja.” Kata
Heru menengahkan.
“Iya, ayo!” Jawab gue.
“Mau main lagu apa nih?” Tanya Nina.
“Enaknya apa ya?” Jawab Dinda agak
bingung.
“Gimana kalo Fall In Lovenya J-Rocks.”
Jawab gue.
“Cie.. kayanya ada yang fall in love
nih. Sama Dinda atau Nina nih?” Jawab Heru meledek.
“Sudahlah ayo kita mulai.” Kata
Dinda melanjutkan.
Kita latihan selama beberapa jam,
dan paling sering memainkan lagu J-Rocks yang itu. Hingga waktu sudah
menunjukkan waktu sore hari. Kita harus pulang, karena gerbang sekolah akan ditutup.
“Ben, boleh minta nomernya nggak
buat komunikasi.” Kata Dinda.
“Iya Ben, aku juga.” Kata Nina.
“Aku no, nggak tau kalo Mas Anang!”
Kata Heru sambil cekikikan.
“Etdah, korban TV nih si Heru. Nih catet
ya 08xxxxxxx.”
“Oke deh, yaudah sampai ketemu besok
ya! Jawab Nina dan Dinda yang pulang barengan.
Gue pun pulang bareng Heru, karena
rumah kita nggak terlalu jauh, hanya berbeda beberapa blok aja. 30 menit
akhirnya gue sampai di rumah.
“Hy, udah sampe belum.” Kata sms
dari nomer yang nggak gue kenal. Gue sih berharap itu Nina.
“Udah kok, siapa ya?” Bales gue.
“Dinda Ben.”
“Oalah, kamu udah sampe?” Bales gue,
dalem hati bilang, “Kenapa bukan Nina sih?”
“Udah kok.”
Setiap hari gue sering smsan sama
Dinda, kadang teleponan. Emang sih sama Nina juga sering sms dan telepon. Tapi Dinda
ini kasih perhatian lebih. Suatu hari saat gue telponan sama Dinda.
“Kamu anggep aku apa sih Ben?” Tanya
Dinda.
“Gimana sih maksudnya, aku nggak
ngerti?”
“Aku tuh sayang sama kamu Ben, dari
awal ketemu aku itu udah suka sama kamu. Kamu mau nggak jadi pacar aku?”
“Hmm pacar?”
“Iya, kamu pasti nggak mau kan? Aku tau
aku ini nggak sempurna.”
“Aku mau kok!” Jawab gue.
Akhirnya gue sama Dinda pacaran. Tapi
gue masih berharap sama Nina. Entahlah apa yang gue pikirin dan rasain. Tapi hubungan
gue sama Dinda nggak bertahan lama, Karena orang tua Dinda nggak setuju sama
gue. Dan akhirnya Dinda dipindahkan sekolahnya. Dia sekolah bareng dengan
laki-laki pilihan orang tuanya. Hubungan gue dan Dinda baik-baik aja. Hanya saja
sebagai teman. Akhirnya gue mulai dekat dengan Nina. Gue sering curhat ke Dinda
tentang perasaan gue ke Nina. Dia mendukung perasaan gue ini.
Semakin lama gue dan Nina ini
semakin dekat. Hingga akhirnya gue memutuskan untuk nyatain perasaan gue ke
dia. Gue pun coba sms dia.
“Nin, pulang sekolah bisa ketemu di
lapangan belakang nggak?”
“Bisa kok.”
Sepulang sekolah gue langsung ke
lapangan belakang, di sana memang agak sepi. Jadi enak buat gue nyatain
perasaan ini. Gue nunggu dia sekitar setengah jam. Tapi nggak ada kabar dari
dia. Gue udah mulai berhenti berharap. Gue berpikir dia nggak bakal dateng.
“Hey, maaf ya, tadi aku di panggil
guru dulu.” Kata Nina dari kejauhan.
“Iya nggak apa-apa kok!” Jawab gue
dengan senyuman.
“Kamu mau ngomongin apa sih?”
“Hmm, jujur ya dari awal ketemu kamu
aku itu udah suka sama kamu.”
“Tapi kenapa kamu pacaran sama
Dinda?”
“Aku juga nggak ngerti, aku nggak
enak aja sama dia.”
“Terus kamu maunya apa?
“Kamu mau nggak jadi pacar aku?”
“Maaf ya aku nggak bisa.”
“Kenapa? Kamu udah punya pacar?”
“Bukan itu. Aku cuma mau fokus
belajar aja.”
“Hmm yaudah kalo gitu.”
“Kamu nggak apa-apa kan?”
“Aku rapopo.” Jawab gue sambil
senyum.
Tapi anehnya kenapa dia mulai
menjauh. Nggak sms atau telepon gue lagi. Kenapa kalo cuma mau fokus sekolah
pake acara menjauh. Apa sih maksud kedekatan kita saat itu. Apa maksud
perhatian dia selama ini. Gue nggak ngerti. Mungkin cinta ini memang tak
terbalaskan.
Ending…
Sumber
Gambar:
3 comments:
Ini cerita nyata?
Aku cuma ingin berkomentar, terlalu banyak percakapan dan sedikit narasi. Aku bacanya, sih, kurang nyaman. Dan nggak konsisten, Papah atau Ayah. Hehe. Sedikit berkomentar saja, maaf kalau kurang berkenan.
Hmhmh keren cerita nya namun terlalu panjang juga dan banyak yang tidak konsisten kata-katanya. tapi cerita nya keren dan menyentuh banget...
setuju sama komentar paling atas, mungkin jika ditambah narasi-narasi yang menggambarkan kondisi tempat dan suasananya akan makin asoy :D *IMO*
omong-omong...saya juga pernah mengalami cinta tak terbal...*skip :v
Post a Comment
Komentar Bisa kaleee....!!!!